Jumlah Pengunjung Blog Ini

Jumat, 04 Februari 2011

Altar Konghucu Di Kutoarjo

Altar sederhana dengan patung Konghucu di atasnya itu berada di ruang tengah sebuah rumah kecil di pinggiran Kutoarjo, kota kecamatan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Rumah itu bertembok sederhana, tidak mencolok dibanding beberapa rumah kayu dan pohon penyejuk di sekitarnya. Halaman rumah masih tanah telanjang dan pasti becek jika hujan.
Pemilik rumah memperlihatkan altar itu. "Saya bersembahyang di sini setiap pagi dan malam," katanya pekan lalu. Tidak ada yang aneh mestinya jika saja pemilik rumah itu warga Tionghoa yang kebetulan tinggal di perkampungan pinggir kota. Tapi pemiliknya, yang setiap pagi dan malam bersembahyang di depan altar Konghucu itu, adalah orang Jawa tanpa darah Tionghoa sama sekali.
Pemilik rumah, Sudarno Atmo Senjoyo, memeluk Konghucu sejak 1960 an. Tidak cukup hanya menjadi umat Konghucu biasa, ia bahkan menjadi rohaniwan dari tingkat wenshi (tingkat menengah, di atas jiaoseng, tapi di bawah xueshi) dan biasa memberi khotbah dalam kebaktian.
Pak Darno panggilan Sudarno-bukan satu satunya pemeluk Konghucu yang sama sekali tak berdarah Tionghoa. Istrinya, yang juga Jawa, sama sama memeluk Konghucu. Meski demikian, tidak ada catatan pasti berapa banyak orang seperti mereka, non Tionghoa yang memeluk Konghucu. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia memperkirakan jumlahnya kurang dari satu persen dari keseluruhan penganut Konghucu di Indonesia dan sebagian orang Jawa. Tapi, saat ditelusuri, kebanyakan dari mereka memeluk Konghucu karena hubungan keluarga. Ada yang menikah dengan warga Tionghoa atau ada pula yang ayah atau ibunya Tionghoa.
Ini berbeda dengan Sudarno dan sejumlah rohaniwan Konghucu yang berasal dari suku Jawa lain, seperti Jiaoseng Widi Priatno dari Banjar, Jawa Barat; Wenshi Ari Barto di Solo; dan Wenshi Titis Triwarsi dari Tuban, yang mengasuh umat di daerah Blitar. Mereka semua memeluk Konghucu setelah dewasa meski tidak ada hubungan keluarga apa pun dengan warga Ti-onghoa.
Sudarno memeluk Konghucu setelah ia belajar kungfu aliran Shantung dan pengobatan Tionghoa-yang memberinya kemampuan akupunktur-di Kutoarjo. Guru kungfunya hanya memiliki sekitar 10 murid dan yang dari Kutoarjo, semua Jawa, akhirnya menjadi Konghucu. "Tapi yang sekarang masih hidup hanya saya," kata Darno.
Sudarno mengenang, saat 1960 an cukup banyak orang Jawa yang beribadah di kelenteng. "Zaman dulu (Konghucu) Kutoarjo paling banyak Jawanya," katanya. Tapi, menurut dia, sekarang hanya tinggal segelintir yang masih rajin ke kelenteng.
Sebelum belajar kungfu itu, Darno sudah punya banyak teman yang menganut Konghucu. Ia masuk sekolah menengah pertama Kristen dan sekolah menengah atas Katolik di Magelang pada 1950 an, yang sebagian muridnya penganut Konghucu. Sekolah sekolah ini juga yang menjadikannya mengenal dasar dasar Kristen Katolik. Adapun tentang agama Islam, ia belajar saat kecil karena mengaji setiap sore. "Seperti lazimnya anak anak Jawa," katanya.
Saat belajar kungfu dan akupunktur, ia kemudian juga mempelajari ajaran Konghucu dan akhirnya, mulai 1967, ikut kebaktian di kelenteng yang saat itu belum dilengkapi litang (semacam aula) di Kutoarjo.
Cara lebih sederhana dilakoni Widi Priatno di Banjar. Widi berasal dari wilayah Cilacap, Jawa Tengah, dan bekerja di Banjar, Jawa Barat, yang tidak jauh dari kampungnya. Ia bekerja di daerah pecinan dan rasa ingin tahunya, suatu ketika, membawanya mengikuti kebaktian di litang. Widi mulai mempelajari Konghucu pada 1989 dan enam tahun kemudian resmi berpindah agama.
Adapun Titis Triwarsi dan Ari Barto memiliki cara serupa hingga menjadi Konghucu. Mereka bersekolah di Sekolah Pendidikan Guru Atas Agama (PGAA) Konghucu di Solo pada awal 1970 an. Saat mulai bekerja mengajar agama Konghucu, praktis mereka sudah memeluk agama ini. "Tidak mungkin mengajar agama kalau tidak mengimani," kata Titis.
Sebelum masuk, Titis mulai berhubungan dengan warga Konghucu karena berinteraksi dengan warga Ti-onghoa di Kutoarjo. Titis memiliki ayah yang berprofesi guru dan ibu yang membuka usaha kecil kecilan. Karena usaha inilah mereka sering kulakan di salah satu toko warga Tionghoa di Purworejo.
Di toko itu, sesekali Titis membaca buku buku Konghucu. Ia kemudian mendapat informasi ada sekolah untuk mempelajari Konghucu di Solo, yakni Sekolah Pendidikan Guru Atas Agama Konghucu. "Niat awal saya hanya ingin cari tahu," kata Titis. Ayahnya, yang aktif dalam kegiatan kejawen dan sering disebut "penghayat kepercayaan", tidak mempermasalahkan pilihan ini.
Adapun Ari Barto masuk sekolah agama Konghucu karena, selain tertarik, ada alasan lain. "Di Sekolah PGAA itu mendapat beasiswa," katanya saat ditemui setelah memberi khotbah kebaktian sepekan lalu. Beasiswa itu besarnya Rp 2.000 per bulan, cukup besar pada 1970 an. Uang ini cukup untuk menutupi biaya sekolahnya di tempat lain, kelas tiga sekolah teknik menengah, yakni Rp 400.
Sebelum masuk sekolah itu, Ari tidak asing dengan Konghucu, karena sejak kelas dua sekolah teknik, sekolah kejuruan teknik setingkat sekolah menengah pertama, ia menumpang tinggal di rumah Sutomo Dirjosangkoyo, orang Jawa yang juga rohaniwan Konghucu di Solo.
Begitu lulus Sekolah PGAA, mereka berdua menjadi pengajar Konghucu, dan ini karier yang bagus di awal 1970 an. "Mereka kan mengajar di sekolah elite (yang mahal dan banyak murid beragama Konghucu)," kata Oesman Arif, doktor dari Universitas Sebelas Maret, yang pada awal 1970 an juga sempat mengajar Konghucu di sekolah sekolah menengah. "Gaji saya menjadi guru itu tiga empat kali lipat gaji dosen."
Tapi karier mengajar itu berantakan setelah pemerintah melarang agama Konghucu diajarkan di sekolah. Ari Barto, yang terakhir mengajar di Surabaya, memutuskan pulang ke kampung halamannya di sekitar Solo. Selama setahun ia hidup dari hasil pengembalian uang yang ia cicil dari gaji guru. Uang pengembalian ini lumayan besar untuk ukuran akhir 1970 an, Rp 4 juta. Sebanyak Rp 3 juta ia belikan tanah. "Saya hidup setahun dari Rp 1 juta."
Sempat menjadi pegawai negeri, Ari kemudian aktif lagi di bidang rohani Konghucu pada 1998. Sementara itu, Titis, setelah tidak lagi mengajar, menjadi rohaniwan di daerah Jawa Barat.
Dengan menyandang agama Konghucu itu, kebebasan Titis sedikit terkekang. Urusan kartu tanda penduduk, misalnya. "Saya ditanya agama, saya jawab Konghucu," katanya. "Tapi ditulisnya (di KTP) Buddha." Untung saja, urusan ini tidak sampai merembet ke soal asmara. Ia menikah dengan seorang muslim, meski pacarnya itu tahu ia rohaniwan Konghucu.
Di rumah ia juga memiliki altar kecil sebagai pelengkap sembahyang. Lingkungan tempat tinggalnya di Tuban, Jawa Timur, ia sebut tidak mempersoalkan kepercayaan ini.
Hal berbeda dijalani Widi Priatno. Ia tidak ingin mencolok memperlihatkan bahwa ia memeluk agama ini di kampungnya. "Lingkungan saya kan orang Sunda," katanya. Ia memang tinggal di kampung istrinya, yang tetap muslim, di salah satu desa perbatasan wilayah Ciamis Banjar.
Ia tidak membuat altar apa pun di rumahnya. "(Umat) Konghucu bisa bersembahyang di mana saja, tidak harus ada altar," katanya. Begitu pula saat Imlek. "Kalau Imlek, saya hanya datang ke sini (litang) untuk merayakan," katanya.
Nasibnya jauh berbeda dengan Sudarno di Kutoarjo. Bukan cuma soal altar, bahkan persoalan perayaan Imlek. "Kalau menjelang Imlek, tetangga malah menanyakan kue keranjang," katanya. "Jadi kami selalu buat biarpun cuma seperempat kilo."
Praktis ia seperti merayakan dua hari raya setiap tahun. "Imlek buka meja, Lebaran juga buka meja," katanya. Lebaran tentu ia ikut merayakan karena, meski istrinya Konghucu, anak anak dan menantunya muslim. Hal yang sama dialami Widi. Anak anaknya, yang masih kecil dan mulai remaja, dibebaskan soal agama. "Saya hanya memberi pengertian (soal Konghucu ini)," katanya.

Sumber: Tempo-online.com

Tentang Konghucu
Siapa yang mereka sembah?
Mereka menyembah Tuhan Yang Esa, yang dalam bahasa Mandarin disebut Tian.
Siapa Konghucu?
Ia nabi (guru) ke-30 dalam agama di Tiongkok, yang kemudian dikenal di Indonesia sebagai agama Konghucu.
Di mana mereka beribadah?
Di kelenteng atau litang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar